Minggu, 06 September 2015

Iklan dan Kekerasan Simbolik

Semakin berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan kita sekarang dikenal dengan lingkungan era media dimana semua aspek kehidupan kita dikelilingi bahkan dipengaruhi oleh media. Hal ini memiliki dampak positif dan negatifnya sendiri. Positifnya, masyarakat menjadi melek media, up-to-date akan berita dan informasi yang tersebar di dunia luas. Namun tak bisa dipungkiri, hal ini pun memiliki dampak negatif yaitu masyarakat menjadi lebih asik dengan dunia maya / virtual dibandingkan dengan dunia nyata, mereka menjadi lebih menutup diri terhadap interaksi langsung antara sesama.

Media disadari seperti magnet yang mampu menarik semua lapisan masyarakat dari segala penjuru untuk mempercayai apa yang ditayangkan atau disajikan media.  Pada Selasa, 1 September 2015 Ketua Bidang Penelitian di Asosiasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Ibu Endah Murwani menyempatkan diri untuk hadir mengisi kelas Kapita Selekta di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara. Beliau membahas mengenai periklanan namun lebih memfokuskan untuk membahas mengenai kekerasan simbolik yang terkait dengan media.


Semakin banyak berhubungan dengan media, maka kehidupan kita dikepung oleh media. Salah satu pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Endang Murwani: Iklan mengalami pergeseran fungsi, dari yang hanya menawarkan calon konsumen agar tertarik membeli produknya menjadi membentuk sistem nilai, gaya hidup, maupun selera budaya tertentu.

Menurut Williamson (1978:20); using product is currency yaitu menggunakan produk yang diiklankan sebagai uang untuk membeli produk kedua yang secara langsung tidak terbeli. Sebagai contoh, seseorang yang membeli produk sabun pembersih muka di iklan, selain membeli produknya ia juga berharap membeli kecantikan yang dimiliki oleh sang model dalam iklan tersebut. Di satu sisi, iklan yang ditampilkan tersebut memang dapat menarik orang-orang yang melihatnya, namun di sisi lain iklan juga bisa membentuk pola pikir masyarakat sehingga apa yang ditampilkan di iklan seakan-akan adalah sesuatu yang paling benar, yang ideal, dan yang terbaik di kehidupan masyarakat.


Hidup manusia tidak pernah lepas dari komunikasi. Sejak kecil hingga dewasa manusia berkomunikasi dan bergantung dengan lingkungan sekitarnya. Manusia memiliki hal-hal yang rutin dilakukan sejak kecil hingga menjadi kebiasaannya hingga besar. Sebagai contoh pola minum susu setiap pagi atau sebelum tidur. Hal ini kemungkinan besar terbentuk mungkin karena ajaran dari keluarga. Keluarga adalah faktor utama yang membentuk pola hidup atau tata kebiasaan yang kita lakukan. Melihat hal ini, iklan produk susu menampilkan berbagai macam cara untuk menarik calon konsumen agar mau mengonsumsi produknya. Sebagai contoh, iklan susu HiLo teen. Dalam setiap iklan susu HiLo, sering sekali ditampilkan bahwa remaja yang bertubuh gemuk dan pendek adalah sosok yang kurang dianggap oleh orang sekitarnya. Sedangkan remaja yang bertubuh tinggi dan kurus disenangi oleh orang-orang di sekitarnya. Jika dikaitkan dengan teori dari Williamson, iklan HiLo selain untuk menjual produk susu tinggi kalsium untuk remaja, iklannya juga menjual proporsi tubuh remaja “ideal”. Dapat dikatakan, simbol ini merupakan salah satu contoh bentuk kekerasan simbolik yang dapat menyerang para remaja yang bertubuh pendek dan gemuk. Akibat iklan ini, bisa jadi banyak anak muda yang menjadi kurang pede dengan keadaan fisiknya karena ia melihat sosok yang ideal adalah sosok yang bertubuh kurus tinggi. Hal ini dalam taraf tertentu bisa merubah pola pikir dan perilaku masyarakat, dan jika ada pihak-pihak yang tidak pandai dalam menyikapi hal tersebut maka bisa berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain.


Banyak yang menjadi korban iklan dan media massa, salah satunya adalah aktris muda Indonesia bernama Prilly Latuconsina. Aktris yang terkenal di sinetron Ganteng-ganteng Serigala ini memang memiliki tubuh yang sedikit gemuk, tidak seperti sosok wanita “ideal” yang sering muncul di iklan-iklan TV lainnya. Pada awalnya, Prilly tidak terlalu fokus dengan ukuran tubuh yang dianggap kurang sempurna, namun di media sosial Prilly kerap mendapatkan komentar-komentar negatif tentang berat badannya. Akhirnya, Prilly melakukan diet yang cukup ekstrim, dalam satu hari dia tidak makan makanan lain selain buah. Akibat kesibukan syuting yang padat dan kurangnya asupan makanan yang bergizi, kesehatan Prilly pun drop hingga dia harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus terkait kekerasan simbolik. Tayangan iklan, sinetron, film, maupun foto-foto yang sering ditampilkan di media massa seringkali tertanam kuat di benak masyarakat, dan seringkali yang tertanam adalah yang berbentuk kekerasan-kekerasan simbolik. Maka, sebagai penikmat media massa kita harus pandai melihat dan mencerna segala hal yang ditampilkan.

“Media is the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control he mind of the masses.” 
– Malcom X







Tidak ada komentar:

Posting Komentar