Sabtu, 05 September 2015

Wajah Muram Indonesia


Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang masyarakat nya terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, dan ras yang hidup dengan rukun dan damai dengan memegang teguh semboyan Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal ika berarti persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Masyarakat Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dan perbedaan, yakni perbedaan bahasa, suku, budaya, ras, agama dan warna kulit. Akan tetapi mereka semua bersatu dan bergandengan tangan yang menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki bangsa yg besar. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Namun pada saat ini, Bhineka Tunggal Ika sudah bukan lagi menjadi semboyan bangsa Indonesia. Pada saat ini setelah 70 tahun merdeka nya Indonesia, banyak masyarakat Indonesia dan generasi muda yang melupakan makna dari semboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Pada Selasa 25 Agustus 2015, Bapak Agus Sudibyo selaku Ketua Program Studi Akademi Televisi Indonesia dan Anggota Dewan Pers 2010-2013 menyempatkan dirinya untuk mengisi kelas Kapita Selekta di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta. Banyak pelajaran yang Bapak Agus sampaikan di kelas, mulai dari membahas undang-undang penyiaran hingga memberikan contoh nyata mengenai undang-undang tersebut yang terjadi di masyarakat. Yang menarik menurut kelompok kami adalah saat Bapak Agus menerangkan UU Bab 4 dan Pasal 15. Di dalam UU Penyiaran bab 4 berisikan tentang agama, ras, dan golongan. Dalam UU ini dibahas jika dalam penyiaran televisi dan radio tidak boleh mengandung unsur yang dapat menjelek-jelekkan agama, ras, dan golongan. Dan dalam Pasal 15 dikatakan bahwa program penyiaran tidak boleh menghina kelompok minoritas dan marginal dan tidak boleh memberikan informasi berita yang stereotype.

Adapun kasus yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat yang melanggar UU penyiaran tersebut yakni kasus pesan kebencian yang disampaikan kepata etnis Tionghoa melalui media sosial facebook dengan akun atas nama Arif Kusnandar pada tanggal 22 Agustus 2015.



 Di akun Facebook nya tersebut Arif menuliskan bahwa warga Tionghoa yang ada di Indonesia yang menyebabkan terpuruknya perekonomian saat ini. Dalam pernyataan tersebut kelompok minoritas dijadikan kambing hitam atas kondisi yang sedang dialami Indonesia sekarang ini. Yang memprihatinkan adalah apa yang dituliskan oleh Arif yakni menyalahkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih sering dipanggil Ahok. Arif menyalahkan Ahok atas kasus penggusuran di Kampung Pulo dan mengajak warga untuk mengulang peristiwa mei 1998 yang kelam.  Kasus ini mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak, lantaran pesan yang disampaikan melalui dunia maya tersebut dapat memecah belah semboyan Bhineka Tunggal Ika yang selama ini telah di bangun dan dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

Selain itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku, saat memutuskan mencopot Syamsuddin Noor dari jabatan Wali Kota Jakarta Selatan, beliau dikirimi kata-kata yang bersifat rasis. Berikut adalah petikan dari sms rasis tersebut “Anda sudah copot Wali Kota kami. Padahal, kami sudah kerja keras seperti kuli di toko China.” Padahal jika kita telusuri lagi secara mendalam, tidak ada hubungannya antara warga pribumi yang bekerja di toko milik warga Thionghua, dengan Bapak Ahok yang menjabat sebagai Gubernur dan melakukan berbagai tindakan guna kepentingan seluruh warga DKI Jakarta.

 Demikian pula dengan penggusuran warga Kampung Pulo, beliau menggusur lahan tersebut tidak dengan semena-mena. Melainkan dengan izin bapak presiden kita yang terhormat yakni Bapak Joko Widodo disertai disediakannya tempat yang nyaman untuk relokasi penduduk yang terkena gusur walaupun itu berada diatas tanah milik Negara. Namun hanya Bapak Ahok saja yang terkena imbas dari kejadian ini berupa ancaman-ancaman, caci maki, sumpah serapah dan berbagai pernyataan berbau SARA lainnya. Padahal jika kita telusuri, penggusuran yang dilakukan di berbagai wilayah DKI Jakarta berguna untuk mengantisipasi banjir yang setiap tahunnya selalu melanda ibukota Jakarta.

Penggusuran lahan di Kampung Pulo

Aksi para demonstran yang kontra dengan tindakan Ahok

            Kami sebagai generasi penerus Indonesia merasa sangat prihatin atas kejadian yang belakangan ini terjadi yang menyinggung masalah agama, ras, dan etnis yang berbeda. Perlu adanya sikap saling menghargai, menghormati, dam rasa persaudaraan di antara masyarakat Indonesia. Kita ini satu yaitu Indonesia, kita tidak mau Indonesia hancur karena masyarakat nya sudah melupakan Bhineka Tunggal Ika dan memilih untuk bercerai-berai. Mari bersatu dan bangkit untuk membangun Indonesia menjadi negara yg kuat yang terdiri dari keanekaragaman agama, ras, dan etnis.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar