Media Menjadi Ajang Kampanye
Media merupakan suatu wadah untuk menyampaikan informasi
kepada masyarakat baik itu dalam bentuk pesan cetak, pesan elektronik maupun
melalui media baru.
Para tokoh politik pun menggunakan media dalam
menyampaikan informasi dan melakukan kampanye untuk menarik simpati masyarakat.
Hal ini diperkuat dengan Survey Opini Publik yang dilakukan oleh The Indonesian
Institute dengan Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 10- 20 Oktober
2013 yang menunjukkan bahwa jawaban dari mayoritas masyarakat lebih mengetahui
para tokoh politik dari televisi. Ini mengakibatkan media menjadi seolah-olah
“dibeli” oleh para tokoh politik untuk memberitakan hal-hal positif dari tokoh
tersebut.
Banyaknya tokoh yang menggunakan media sebagai media
kampanye memunculkan berbagai pertanyaan dalam benak masyarakat, terutama untuk
masyarakat yang bisa dikatakan tergolong terpelajar. Masyarakat menjadi bingung
untuk memilih dan membedakan mana tokoh yang benar-benar memikirkan masyarakat
dan mana tokoh yang sebenarnya hanya menggunakan media untuk kepentingan
pribadi. Ini juga memunculkan sifat curiga dan tidak percaya terhadap para
wakil rakyat tersebut, apalagi beberapa dari tokoh politik juga merupakan pemilik
media terutama stasiun televisi.
Memang
pada dasarnya tidak ada satupun media yang bisa benar-benar menampilkan berita
yang bersifat netral, namun paling tidak media bisa menjadi independen.
Independensi adalah ide bahwa wartawan harus bebas dari bentuk campur tangan
apapun ketika menjalankan tugasnya. Namun di kebanyakan Negara hal ini tentunya
sulit untuk dilakukan karena kuatnya kekuasaan pemilik.
Dengan banyaknya tayangan yang mendukung pemilik stasiun
televisi dan cenderung menjelek-jelekkan lawan bisa membuat masyarakat menjadi
tidak percaya dan mungkin bisa saja mengakibatkan masyarakat memilih untuk
menjadi golongan putih pada pemilihan umum yang diselenggarakan padahal sebagai
negara demokrasi, Indonesia membutuhkan suara dari masyarakat secara langsung.
Contoh
yang paling jelas dapat kita lihat ketiga pada masa kampanye pemilu lalu,
dimana MetroTV kebanyakan mengangkat berita positif tentang Jokowi, karena PDIP
& Nasdem (Surya Paloh adalah salah satu petinggi di NasDem) merupakan tim sukses Jokowi.
Sedangkan TVOne lebih sering mengangkat berita tentang Prabowo. Keduanya seakan
saling balas membalas dalam menampilkan suatu berita.
Selain
dalam berita, pemilik TV juga melakukan kampanye dari iklan-iklan di televisi. Banyak politisi dan parpol beriklan
melalui televisi karena televisi adalah media yang paling populer saat ini.
Televisi lebih banyak diakses oleh masyarakat dibanding media lainnya seperti
radio, surat kabar, majalah dan lainnya. Menurut survei dari AC Nielsen, 94%
masyarakat Indonesia mengakses media melalui televisi (Tempo, 3/6).
Jenis iklan yang banyak ditemui pada masa
kampanye ini biasanya menggambarkan capres mengunjungi rakyatnya, berbincang,
dan membantu rakyatnya. Hampir semua iklan menampilkan hal tersebut. Iklan ini
ditayangkan hampir setiap jam dan setiap harinya. Capres yang sekaligus pemilik televisi
seakan-akan bebas berkampanye di televisinya. Sedangkan capres yang tidak
memiliki televisi terpaksa membayar dengan tarif yang mahal untuk dapat
berkampanye di televisi.
Namun, kampanye yang marak melalui televisi
saat ini, khususnya kampanye para tokoh yang digadang-gadang sebagai capres
tersebut, sebenarnya melanggar aturan kampanye yang ada. Merujuk Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 13 Ayat e dan Pasal 25 Ayat 2,
yang menyatakan bawa kampanye melalui media cetak dan media massa elektronik
hanya dapat dilakukan selama 21 hari sebelum hari tenang pemilu. Pengawasannya
dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia). Namun, KPU dalam hal
ini tak bisa banyak berbuat. Karena memang kewajiban pengawasan dan sanksi
pelanggaran pemilu menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tapi,
untuk menegakkan aturan tersebut dibutuhkan keseragaman dua lembaga tersebut.
Kalau hampir semua media menampilkan berita
yang harus mengikuti kepentingan pemiliknya, bagaimana masyarakat bisa
mendapatkan berita yang independen, yang benar-benar nyata? Mungkin pada
akhirnya, semua tergantung bagaimana pola pikir dan sikap para masyarakat yang
menonton televisi, apakah akan terbawa “arus” dari kepentingan-kepentingan
orang tertentu atau dapat dengan bijaksana menyaring isi berita yang ada?



Tidak ada komentar:
Posting Komentar