Minggu, 15 November 2015

Media Menjadi Ajang Kampanye



Media Menjadi Ajang Kampanye




   
Media merupakan suatu wadah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat baik itu dalam bentuk pesan cetak, pesan elektronik maupun melalui media baru.
Para tokoh politik pun menggunakan media dalam menyampaikan informasi dan melakukan kampanye untuk menarik simpati masyarakat. Hal ini diperkuat dengan Survey Opini Publik yang dilakukan oleh The Indonesian Institute dengan Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 10- 20 Oktober 2013 yang menunjukkan bahwa jawaban dari mayoritas masyarakat lebih mengetahui para tokoh politik dari televisi. Ini mengakibatkan media menjadi seolah-olah “dibeli” oleh para tokoh politik untuk memberitakan hal-hal positif dari tokoh tersebut.
Banyaknya tokoh yang menggunakan media sebagai media kampanye memunculkan berbagai pertanyaan dalam benak masyarakat, terutama untuk masyarakat yang bisa dikatakan tergolong terpelajar. Masyarakat menjadi bingung untuk memilih dan membedakan mana tokoh yang benar-benar memikirkan masyarakat dan mana tokoh yang sebenarnya hanya menggunakan media untuk kepentingan pribadi. Ini juga memunculkan sifat curiga dan tidak percaya terhadap para wakil rakyat tersebut, apalagi beberapa dari tokoh politik juga merupakan pemilik media terutama stasiun televisi.
Memang pada dasarnya tidak ada satupun media yang bisa benar-benar menampilkan berita yang bersifat netral, namun paling tidak media bisa menjadi independen. Independensi adalah ide bahwa wartawan harus bebas dari bentuk campur tangan apapun ketika menjalankan tugasnya. Namun di kebanyakan Negara hal ini tentunya sulit untuk dilakukan karena kuatnya kekuasaan pemilik.
Dengan banyaknya tayangan yang mendukung pemilik stasiun televisi dan cenderung menjelek-jelekkan lawan bisa membuat masyarakat menjadi tidak percaya dan mungkin bisa saja mengakibatkan masyarakat memilih untuk menjadi golongan putih pada pemilihan umum yang diselenggarakan padahal sebagai negara demokrasi, Indonesia membutuhkan suara dari masyarakat secara langsung.
Contoh yang paling jelas dapat kita lihat ketiga pada masa kampanye pemilu lalu, dimana MetroTV kebanyakan mengangkat berita positif tentang Jokowi, karena PDIP & Nasdem (Surya Paloh adalah salah satu petinggi di  NasDem) merupakan tim sukses Jokowi. Sedangkan TVOne lebih sering mengangkat berita tentang Prabowo. Keduanya seakan saling balas membalas dalam menampilkan suatu berita.




Selain dalam berita, pemilik TV juga melakukan kampanye dari iklan-iklan di televisi. Banyak politisi dan parpol beriklan melalui televisi karena televisi adalah media yang paling populer saat ini. Televisi lebih banyak diakses oleh masyarakat dibanding media lainnya seperti radio, surat kabar, majalah dan lainnya. Menurut survei dari AC Nielsen, 94% masyarakat Indonesia mengakses media melalui televisi (Tempo, 3/6).
Jenis iklan yang banyak ditemui pada masa kampanye ini biasanya menggambarkan capres mengunjungi rakyatnya, berbincang, dan membantu rakyatnya. Hampir semua iklan menampilkan hal tersebut. Iklan ini ditayangkan hampir setiap jam dan setiap harinya.  Capres yang sekaligus pemilik televisi seakan-akan bebas berkampanye di televisinya. Sedangkan capres yang tidak memiliki televisi terpaksa membayar dengan tarif yang mahal untuk dapat berkampanye di televisi.
Namun, kampanye yang marak melalui televisi saat ini, khususnya kampanye para tokoh yang digadang-gadang sebagai capres tersebut, sebenarnya melanggar aturan kampanye yang ada. Merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 13 Ayat e dan Pasal 25 Ayat 2, yang menyatakan bawa kampanye melalui media cetak dan media massa elektronik hanya dapat dilakukan selama 21 hari sebelum hari tenang pemilu. Pengawasannya dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Namun, KPU dalam hal ini tak bisa banyak berbuat. Karena memang kewajiban pengawasan dan sanksi pelanggaran pemilu menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tapi, untuk menegakkan aturan tersebut dibutuhkan keseragaman dua lembaga tersebut.






Kalau hampir semua media menampilkan berita yang harus mengikuti kepentingan pemiliknya, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan berita yang independen, yang benar-benar nyata? Mungkin pada akhirnya, semua tergantung bagaimana pola pikir dan sikap para masyarakat yang menonton televisi, apakah akan terbawa “arus” dari kepentingan-kepentingan orang tertentu atau dapat dengan bijaksana menyaring isi berita yang ada?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar