Minggu, 18 Oktober 2015

KORUPTOR BUKAN SELEBRITI





Selasa, 13 Oktober 2015, Kelas Kapita Selekta diisi oleh narasumber yang luar biasa. Beliau adalah Jimmy Silalahi yang merupakan salah satu anggota Dewan Pers Republik Indonesia. Kelas dibuka dengan pertanyaan mengenai apa itu korupsi. Beliau mengatakan bahwa korupsi bukanlah suatu kriminalitas yang melulu tentang hal besar, namun hal tidak produktif sekecil apapun yang kita lakukan dan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Contohnya adalah korupsi waktu, ketika sudah waktunya masuk kelas namun kita masih melakukan hal lain atau sengaja ingin masuk telat.

            Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai dilemma atau persoalan jurnalis dalam pemberitaan korupsi, diantaranya:
a)     Kecapaian penyampaian berita vs kedalaman berita
b)     Kelugasan penulisan vs asas praduga tak bersalah
c)      Ruang privat vs Ruang Publik
d)     Masih banyak jurnalis yang belum paham mengenai kode etik jurnalistik


Beliau membahas mengenai ruang privat dengan ruang publik. Ruang privat memiliki batasan-batasan yang tidak dapat ditembus sedangkan ruang publik merupakan suatu ruang terbuka dimana siapa pun dan kapan pun dapat mengakses informasi atau keluar masuk dengan bebas. Agar kami lebih mengerti, Bpk. Jimmy Silalahi memberikan sebuah pertanyaan. “Kampus termasuk ruang privat atau ruang publik?“ itulah pertanyaan yang dilemparkan kepada kami. Banyak yang antusias dan merespon pertanyaan ini disertai argument masing-masing. Suasana menjadi seru ketika terjadi perdebatan pendapat antara seorang mahasiswa dengan mahasiswa lainnya.
Kami pun menyadari bahwa kampus atau universitas merupakan ruang public karena merupakan sumber ilmu, setiap orang bisa mengakses hal apapun terkait dengan kampus atau universitas asalkan sesuai dengan prosedur.

            Kami juga sempat membahas berbagai contoh kasus pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Kerap kali judul atau pemilihan kata yang dipakai oleh jurnalis dan tim kurang sesuai dengan kode etik jurnalistik. Namun demi menarik minat baca, maka tetap dibuat sedemikian rupa.
            
Dari topik di atas mengenai ruang publik dan ruang privat terkait dengan para koruptor, kami tertarik untuk membahas mengenai Gayus Tambunan. Siapa yang tidak kenal Gayus Tambunan? Ya, beliau merupakan koruptor yang cukup sering diperbincangkan di media massa maupun media sosial. Namanya pertama kali disebut oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp. 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar tidak jelas. Karena hal itu, Gayus Tambunan dijatuhi hukuman 30 tahun penjara.

Namun kenyataanya Gayus Tambunan sering terlihat makan dan ‘berkeliaran’ di tempat-tempat umum seperti restoran atau sedang menyaksikan pertandingan sepak bola. Hal ini sontak membuat masyarakat heboh. Media massa berbondong- bondong memberitakan hal tersebut, mungkin dengan maksud agar semua orang tau mengenai Gayus Tambunan yang selalu terlihat di tempat umum sedangkan seharusnya dia berada di Lapas Sukamiskin, Bandung.

Adanya pemberitaan yang terus menerus di media membuat Gayus Tambunan yang seorang koruptor menjadi seperti selebrtiti,  media membuat seolah-olah Gayus Tambunan adalah selebriti terkenal yang membutuhkan popularitas.

 




 Segala kegiatan Gayus Tambunan menjadi sorotan publik dan bahkan terkesan mengeluk-elukkan koruptor tersebut mengenai betapa hebatnya Gayus yang seharusnya berada di Lapas namun kenyataannya bisa bebas keluar masuk Lapas seperti hotel.

Hal ini mengakibatkan koruptor terkesan seperti selebriti padahal seharusnya koruptor tidak memiliki porsi yang besar dalam media apalagi ketika telah divonis hukuman penjara dan koruptor bukanlah selebriti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar